Di setiap perjalanan hidup, tidak sedikit dari kita yang pernah merasakan rasa terzalimi. Kadang bentuknya kecil, seperti ucapan yang merendahkan, atau bisa juga besar, seperti ketidakadilan hukum maupun perlakuan yang merugikan. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah doa orang yang terzalimi benar-benar mustajab?
Doa yang Menembus Langit
Banyak riwayat, doa orang yang dizalimi disebut tidak ada hijab antara dirinya dengan Allah. Artinya, doa tersebut langsung diangkat, tanpa perantara, tanpa penghalang. Ini bukan sekadar cerita, tapi keyakinan yang tumbuh dari hadis-hadis sahih.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa tiga doa yang tidak akan tertolak, doa orang tua untuk anaknya, doa musafir, dan doa orang yang dizalimi. Tiga keadaan ini menggambarkan kondisi hati yang tulus, lemah, dan penuh kepasrahan. Dan ketika hati berada pada posisi itu, doa menjadi panah yang tepat sasaran.
Sedikit Kisah Orang Terzalimi
Ada kisah menarik yang sering dikutip ulama klasik. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, seorang rakyat kecil mengadu karena hartanya dirampas oleh pejabat setempat. Umar mendengar kabar itu, lalu menegaskan, “Takutlah pada doa orang yang terzalimi, karena sesungguhnya doa mereka akan naik ke langit bagai api yang menyala.” Kisah ini menggambarkan betapa seriusnya doa tersebut dipandang oleh para sahabat.
Mengapa Mustajab?
Secara psikologis, orang yang dizalimi biasanya berdoa dengan hati yang hancur. Tidak ada hiasan, tidak ada kepura-puraan. Hanya ada rasa sakit yang dititipkan kepada Allah. Dengan kondisi seperti inilah, doa bisa lebih kuat dibanding doa biasa.
Selain itu, ada faktor keadilan Ilahi. Allah adalah Al-‘Adl, Yang Maha Adil. Maka ketika doa orang terzalimi dipanjatkan, ia selaras dengan sifat Allah yang membela kebenaran. Inilah mengapa doa ini sering kali disebut sangat mustajab.
Doa Lainnya: “Doa untuk Orang Sakit Perempuan Bahasa Arab, Latin dan Artinya“
Kesalahan yang Sering Dilupakan
Namun ada hal yang perlu dicatat. Doa orang terzalimi bisa menjadi berkah sekaligus bumerang. Banyak yang tanpa sadar mendoakan keburukan secara berlebihan kepada orang lain, bahkan kadang untuk hal-hal sepele. Padahal, ulama mengingatkan agar tetap berhati-hati. Mendoakan keburukan bisa kembali kepada diri sendiri, jika niatnya bukan untuk mencari keadilan, tetapi sekadar melampiaskan amarah.
Pernah ada seorang alim yang menegur muridnya karena mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya. Katanya, “Mintalah keadilan dan kebaikan dari Allah, bukan hanya azab. Bisa jadi dengan doa itu, engkau tidak hanya menjerumuskan mereka, tapi juga dirimu sendiri.”
Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Jika kita berada dalam posisi dizalimi, berdoalah dengan ikhlas. Sampaikan keluh kesah, lalu serahkan hasilnya pada Allah. Doa yang paling sederhana adalah memohon agar diberi jalan keluar, kekuatan hati, dan balasan yang adil dari Allah.
Contoh doa yang sering diajarkan:
اللَّهُمَّ اكْفِنِيهمْ بِما شِئْتَ
“Allahumma ikfiniihim bimaa syi’ta“
Artinya: “(Ya Allah, lindungilah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.)”
Doa ini pendek, tapi maknanya luas. Kita menyerahkan urusan kepada Allah, tanpa perlu mengotori hati dengan kebencian berlebih.
Refleksi untuk Kita Semua
Menjadi orang yang menzalimi itu jauh lebih berbahaya daripada menjadi orang yang dizalimi. Karena bisa jadi doa orang lain menjadi sebab turunnya murka Allah kepada kita. Itu sebabnya, para ulama sering menasihati, “Jangan pernah ambil hak orang lain, sekecil apapun.”
Maka benar, doa orang yang terzalimi mustajab. Tetapi alangkah lebih indah jika doa itu tetap diiringi dengan harapan kebaikan. Karena doa yang lahir dari luka bisa mengubah keadaan, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu aklam bishawab (DW)








